Proses pembelajaran bukan sekadar bertujuan agar siswa menguasai materi pelajaran. Penyelenggaraan proses pembelajaran di sekolah harus mengarah pada tercapainya tujuan pendidikan nasional, seperti diamanatkan UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) atau bahkan tujuan universal.
Seperti tertuang dalam pasal 3 UU Sisdiknas, pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sementara secara filosofis universal, tujuan pendidikan adalah perkembangan pribadi agar manusia dapat mencapai kehidupan yang lebih baik (Hamm, 1989:45-50). Dengan kata lain, pendidikan universal bertujuan untuk membekali peserta didik agar mendapatkan kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Oleh karena itu proses pembelajaran harus mengarah pada pembekalan bagi peserta didik.
Berdasarkan analisis bahwa pendidikan adalah sebagai pembekalan, maka proses pembelajaran di sekolah seyogianya juga membekali peserta didik dengan kecakapan yang memadai. Ini agar peserta didik dapat hidup lebih baik dan memiliki pribadi yang berwatak dan bermartabat, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, kuat dan tangguh, serta mampu mengaktualisasikan dirinya secara utuh. Sebab itu, pembelajaran seharusnya tidak sekadar menangani kecerdasan intelektual saja melainkan juga kecerdasan emosional dan spiritual.
Kecerdasan intelektual (IQ) memang penting. Orang dengan IQ tinggi memang diharapkan dapat menggunakan akalnya untuk menentukan pilihan-pilihan secara tepat (rasional), sehingga yang bersangkutan mendapatkan kehidupan yang baik. Namun kenyataannya tidak selalu demikian. Banyak orang yang sukses di sekolah tetapi tidak sukses dalam kehidupan. Sebaliknya, banyak orang yang prestasi di sekolahnya biasa-biasa saja justru berhasil dalam kehidupan nyata.
Menurut Goleman (2003:44-47), IQ hanya menyumbang kira-kira 20 persen bagi penentu sukses dalam hidup, sedangkan yang 80 persen diisi kekuatan-kekuatan lain. Kekuatan lain itu adalah kecerdasan emosional: kemampuan untuk memotivasi diri dan bertahan menghadapi frustrasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak melebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa. Ia menyatakan bahwa kecerdasan emosional (EQ) sama ampuhnya, dan kadang lebih ampuh dari IQ.
Pada tataran yang lebih jauh, IQ dan EQ ternyata juga belum cukup karena hanya menyangkut hubungan kebendaan dan hubungan antarmanusia, sehingga orang masih mengalami kegersangan jiwa, tidak mendapatkan kedamaian abadi.
Akibatnya, jika terjadi benturan dalam hidup, orang tidak lagi mampu mempertahankan EQ dan IQ. Tindakan bodoh pun dilakukan, misalnya: menyerang orang atau menyakiti diri sendiri. Padahal, keberhasilan manusia sering tergantung pada kekuatan yang lebih besar, yang berada di luar kekuatan manusia itu.
Untuk itu, orang perlu memiliki kecerdasan spiritual (SQ). Kecerdasan ini akan membimbing seseorang pada kesadaran bahwa setiap diri memiliki keterbatasan tertentu. Nasib baik atau buruk pasti terjadi jika Tuhan menghendaki. Sebab itu tugas utama manusia adalah melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya dan ikhlas terhadap hasil akhir. Baginya, keberhasilan adalah anugerah dan kegagalan adalah hikmah. Masing-masing ada manfaatnya.
Kecerdasan spiritual memberi seseorang semangat yang tetap berkobar di dalam dirinya, karena ada kekuatan yang mengatur perjalanan hidupnya, sehingga orang tersebut selalu siap dan tidak was-was dalam menjalani proses hidupnya.
Menurut Danah Zohar (dalam Ary Ginanjar Agustian, 2001:57), SQ adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value; yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna daripada yang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ. SQ adalah kecerdasan tertinggi kita.
Menurut Agustian, SQ adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya, memiliki pola pemikiran tauhidi (integralistik) dan berprinsip “hanya karena Allah”.
Berdasarkan analisis terhadap ketiga kecerdasan di atas tampak jelas bahwa masing-masing mendukung terwujudnya tujuan pendidikan nasional. Oleh karena itu guru perlu mengembangkannya secara bersama-sama dalam proses pembelajaran.
Bacaan yang relevan:
Ary Ginanjar Agustian. 2001. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ: Emotional Spiritual Quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta: Penerbit Arga.
Goleman, Daniel. 2003. Kecerdasan Emosional. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Hamm, Cornel M. 1989. Philosophical Issues in Education. Great Britain: Taylor & Francis Ltd.
Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar