Kearifan Lokal di Banten
Mengenal “UBRUG” Lebih Dekat
Dalam
Kamus Bahasa Sunda, kata ubrug berarti sebagai bangunan darurat,
tempat bekerja sementara untuk beberapa hari saja, misalnya untuk kepentingan
hajatan atau pesta. Kemudian kata tersebut digunakan sebagai nama kesenian,
mungkin karena pada masa lalu pemain Ubrug suka berpindah-pindah tempat dan membuat
bangunan sementara manakala mereka mengadakan suatu pertunjukan. Orang-orang
kemudian menyebutnya sebagai pemain Ubrug, pemain yang tinggal di tempat
darurat.
Lain
halnya dengan pendapat Mutia Kasim (dalam Walidat, 1997), yang menyebutkan
bahwa ubrug diambil dari kata ngagebrug. Dalam pertunjukan
Ubrug, semua pemain, baik laki-laki maupun perempuan, tua muda, beserta para
penonton sama-sama menempati satu tempat pertunjukan
atau sagebrug (bahasa Sunda).
Dalam
buku acara Pekan Teater Tradisional terbitan Pembinaan Kesenian
Depdikbud bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta (27 September s.d. 1
Oktober 1977), istilah “ubrug” senada dengan kata-kata saubrug-ubrug,
sagebrugan, dan sagebrugna dalam bahasa Sunda, yang berarti
bertumpuk-tumpuk dan tidak teratur. Penamaan demikian karena isi cerita atau
lawakan dalam kesenian tersebut diungkapkan secara spontan, tanpa sutradara.
Pemain hanya diarahkan masalah tema dan garis besar isi cerita oleh pimpinan
Ubrug. Adapun rinciannya diserahkan kepada kreativitas masing-masing pemain.
Kesenian Ubrug pun dapat dipertunjukkan pada sembarang waktu dan tempat, tidak
teratur.
Pada
awal pertumbuhannya, Seni Ubrug diadakan sebagai kompensasi dari beban berat
bekerja di sawah-sawah dan ladang-ladang. Pertunjukannya pun diadakan di
sawah-sawah atau ladang-ladang perkebunan sehabis panen. Perkembangan
selanjutnya hingga kini, Seni Ubrug dimaksudkan untuk menghibur.
Hingga
kini riwayat asal-usul Kesenian Ubrug belum terungkap secara lengkap.
Penjelasan dari beberapa tokoh kesenian tradisional ini, bahwa Kesenian Ubrug
tumbuh dan hidup dari kalangan masyarakat. Kesenian ini sangat dikuasai rakyat
Banten dan dipentaskan sebagai hiburan pada waktu senggang, manakala musim
panen datang. Pementasannya dilakukan di atas tanah, menggunakan gubuk yang
terbuat dari anyaman daun rumbia. Awalnya waditra yang digunakan adalah sebuah
kendang besar, 2 buah kendang kecil (kulanter), sebuah gong kempul, dan
sebuah ububan. Ububan adalah 2 potong bambu, yang besar dan
kecil. Bambu kecil terletak di tengah, dan jika akan dimainkan ditiup dan
diangkat sedikit agar berbunyi. Namun sekarang waditranya berubah, diganti
dengan goong angkeb, kecrek, rebab, dan 3 buah kenong.
Perkembangan
selanjutnya, Kesenian Ubrug berangsur-angsur digunakan untuk hiburan pada acara
hajatan, yakni selamatan pernikahan, khitanan, peresmian gedung baru, dan
sebagainya. Sebagai alat penerangnya pada masa lalu adalah obor atau
lampu blancong, yang disimpan di tengah-tengah arena pentas dan para
pemainnya berada di sekeliling obor
atau blancong tersebut. Blancong adalah lampu minyak tanah
yang bersumbu dua buah dan cukup besar, yang diletakkan di tengah arena.
Lampu blencong ini sama denganoncor dalam ketuk tilu, sama
dengan gembrong atau lampu petromak.
Pendapat
Y. Ganda SW dalam Diskusi Pekan Teater Tradisional yang diselenggarakan
Direktorat Pembinaan Kesenian Depdikbud di Jakarta tahun 1977. Melalui kertas
kerja yang telah dipersiapkan, Ganda mengungkapkan bahwa: Di wilayah Banten
terdapat sejenis kesenian yang hingga kini telah lenyap, namanya Kesenian
Doblang. Ketika Ketuk Tilu Doger/Ronggeng sampai di Banten, Doblang pun
mendapat pengaruh. Selanjutnya Topeng Betawi dan Topeng Banjet datang pula
mempengaruhnya, terjadilah akulturasi secara berangsur-angsur, maka lahirlah
Kesenian Ubrug.
Kesenian ubrug
sering diistilahkan dengan topeng. Ada dua pendapat tentang kesenian ubrug
apabila dikaitkan dengan kesenian topeng. Pendapat pertama,
kesenian ubrug tidak sama dengan kesenian topeng. Pendapat
kedua, kesenian ubrug konon sama saja dengan topeng. Hanya
saja, istilah ubrug digunakan di wilayah-wilayah yang menggunakan
bahasa Jawa Banten, sedangkan istilah topeng digunakan di
wilayah-wilayah budaya Sunda.
Adapun
menurut Ensiklopedi Sunda (2000: 672) yang dimaksud dengan ubrug adalah
semacam teater tradisional di daerah Banten, dipentaskan di lapangan atau di
halaman bangunan umum seperti stasiun, diiringi gamelan.
Ubrug termasuk
jenis teater tradisional yang konon memiliki keserupaan
dengan lenong (Betawi), longer (Jawa Barat), ketoprak (Jawa
Tengah), dan ludruk (Jawa Timur). Keserupaan tersebut terletak pada
sifatnya yang anonim (tidak diketahui siapa penciptanya), dilakukan di arena
terbuka, dan mengandalkan improvisasi.
Kesenian ubrug memadukan
unsur komedi, gerak/tari, musik, sastra (lakon), dengan pola permainan longgar.
Pada dasarnya kesenian ubrug terbagi atas empat bagian/babak yang
istilahnya bisa jadi agak berbeda untuk beberapa wilayah di Banten. Salah satunya
adalah pembagian babak dengan istilah tatalu, nandung, bodoran,dan lalakon. Dalam
perkembangannya, pementasan ubrug saat ini sering tidak sesuai pakem.
Artinya, pementasan ubrug bisa diselipi musik modern untuk lebih
menyesuaikan pada keinginan penonton. Hal ini merupakan salah satu cara agar
kesenian ubrug tetap diminati.
Berikut
adalah profil grup Cantel yang merupakan grup ubrug tertua dan
tersohor di Kota Serang. Grup Cantel sering dipanggil untuk pentas dari kampung
ke kampung dalam rangka hajat pernikahan atau sunatan. Pada saat pementasan di
kampung, struktur pementasannya terdiri atas lima babak. Babak pertama diisi
dengan tatalu, babak kedua jaipongan, babak ketiga musik modern
(organ tunggal), babak keempat bodoran, dan babak
kelima lalakon.
Tatalu adalah
berasal dari kata talu yang artinya tabeuh, yaitu permainan
instrumentalia sebelum pertunjukan dimulai, biasanya untuk mengumpulkan
penonton. Gending-gending tatalu suasananya semarak dengan
tempotandak dan cepat.
Jaipongan merupakan
tari pergaulan yang berdasarkan pada tarian rakyat ketuk tilu yang
memasukkan unsur-unsur penca dengan mengurangi unsur erotiknya yang
dipopulerkan oleh Gugum Gumbira, Tati Saleh, dan Euis Komariah menjelang ahir
1970-an. (Ensiklopedi Sunda, 2000: 296-297).
Bobodoran ‘lawakan’
yakni menampilkan tokoh “pelawak”. Tokoh ini menjadi ikon grup yang
bersangkutan dan karenanya nama panggung alias julukan tokoh pelawak yang
bersangkutan sekaligus menjadi nama grup. Sebut saja Cantel yang merupakan nama
panggung atau julukan dari Sukardi, menjadi nama grup, yakni grup Cantel. Mang
Cantel, demikian orang akrab menyapa, merupakan
pemain ubrug terpopular di Kota Serang. Lawakannya menitikberatkan
pada gesture tubuh.
Lalakon, merupakan
inti pementasan, yakni membawakan cerita sesuai judul. Judul yang dibawakan
terlebih dahulu dimusyawarahkan oleh para aktornya sesaat sebelum pentas.
Tujuan atau target lalakon tidak lain penonton bisa terhibur dan
memahami jalan cerita yang dibawakan.
Ubrug sebagai
bagian dari ritual (pernikahan atau sunatan), dipentaskan di luar
bulan sapar dan puasa karena pada bulan-bulan itu tidak pernah
dilakukan hajatan. Lamanya pementasan untuk keperluan hajatan minimal berkisar
dua jam dan maksimal tiga jam, dimulai dari pukul 24.00 hingga 03.00 dinihari.
Selain
di kampung-kampung, sesekali grup Cantel juga dipanggil untuk pentas di
kantor-kantor sebagai hiburan. Struktur pementasan di kantor berbeda dengan di
kampung. Pementasan pada babak pertama diisi dengan tatalu, babak
kedua samyong, babak ketiga tatalu, babak keempat nandung, dan
babak kelima lalakon. Pementasan di kantor biasanya dilakukan dalam rangka
perpisahan pejabat, penyambutan tamu, atau peresmian gedung baru. Adapun
lamanya pertunjukan berkisar tiga puluh menit.
Sebagaimana
tradisi yang sudah berlangsung turun-temurun, pementasan ubrug dalam
suatu hajatan selalu diawali dengan menyediakan parawanten ‘sesajen’
dan melakukan ritual nyuguh/ngukus ‘baca-baca doa/mantera’ oleh
tukang ngukus. Ritual nyuguh dilakukan di depan peralatan musik
pengiring (waditra), tepatnya di antara dua gong. Tujuan dari ritual tersebut
tidak lain untuk memohonkan keselamatan, baik untuk grup ubrug itu
sendiri, untuk yang berhajat, maupun penonton. Isi dari sesajen di antaranya adalah:
beras sepitrah (lebih kurang tiga liter), kembang tujuh
rupa, lawe (benang kanteh), kemenyan, kopi pahit kopi
manis,jawadah warna tujuh rupa, bakakak hayam, dan uang sepuluh ribu.
Semua jenis yang termasuk dalam sesajen tersebut pada dasarnya merupakan
kebutuhan makhluk di alam gaib yang diperkirakan memiliki kesukaan yang sama
dengan makhluk yang hidup di alam nyata.
Cerita
yang dibawakan grup ubrug pada saat pentas di kampung-kampung berbeda
dengan di kantor. Cerita yang dibawakan di kampung-kampung cenderung bebas,
terkecuali kalau ada permintaan dari yang punya hajat. Tema cerita bisa tentang
keluarga, rukun warga, kejadian sehari-hari, atau hal-hal yang sifatnya aktual
dan lain-lain. Yang pasti, apa pun ceritanya, di setiap cerita selalu diselipi
dengan pesan-pesan moral. Peran pencerita dilakukan oleh dalang.
Cerita
yang akan dibawakan dalam suatu pementasan disampaikan oleh sutradara kepada
anggota grupnya, sesaat menjelang pentas. Meskipun demikian tidak semua anggota
grup akan mendapat peran. Sebaliknya, bisa juga grup itu kekurangan pemain
karena banyaknya peran yang harus dibawakan. Usai disampaikan ceritanya,
selanjutnya sang sutradara membagi peran pada anggota grup. Apabila kemudian
diketahui jumlah pemainnya kurang maka ceritanya akan diganti dengan cerita
lain yang sekiranya cukup diperankan oleh anggota grup yang ada pada saat itu.
Pemain ubrug terdiri
atas pemain (pembawa lakon), panjak (nayaga), penari,
dan sinden. Pemain Ubrug didominasi oleh kalangan tua dan orang
dewasa. Sangat sulit untuk mendapatkan pemain ubrug dari kalangan
remaja.
Jumlah
pemain dalam setiap pementasan ubrug tidak selalu sama, bergantung
kebutuhan cerita. Untuk tema keluarga, biasanya ada yang berperan sebagai ayah,
ibu, anak, pembantu, tokoh masyarakat, dan sebagainya.
Busana/kostum
yang dikenakan oleh pemain (pembawa lakon) bergantung dari peran yang
dibawakan. Apabila seorang pemain berperan sebagai seorang ayah maka pakaian
yang dikenakan adalah pakaian layaknya seorang ayah. Khusus untuk pakaian dan
tata rias wajah yang dikenakan oleh bodor merupakan pakaian dan tata
rias wajah yang mengandung kelucuan. Tujuan penggunaan dan tata rias wajah
seperti ini agar penonton tertawa dan senang untuk menonton ubrug.
Kesenian ubrug menggunakan
seperangkat instrumen karawitan atau yang disebut dengan
istilah waditra.Waditra dalam kesenian ubrug terdiri atas:
Satu set gendang yang meliputi kentung, tepak, dan kendang gede;
Kecrek; Saron I dan saron II; Penerus; Gambang;
Gong; Kromong; dan Rebab.
Urutan
pertunjukan ubrug yakni sebagai berikut : (1) Tatalu — gamelan ditabuh
sedemikian rupa sehingga kedengaran semarak selama 10-15 menit yang dimulai
pada pukul 21.00 WIB. (2) Lalaguan – Ini kemudian disambung tatalu singkat
sekitar 2 menit dilanjutkan dengan Nandung. (3) Lawakan — lakon atau cerita
yang akan disuguhkan. (4) Soder — yaitu beberapa ronggeng keluar dengan
menampilkan goyang pinggulnya. Para pemain memakaikan kain, baju, topi atau
yang lainnya ke tubuh ronggeng. Sambil dipakai, para ronggeng terus menari
beberapa saat dan kemudian barang-barang tadi dikembalikan kepada pemiliknya
dan si pemilik menerima dengan bayaran seadanya. Soder berlangsung + 20-30
menit.
Masalah
moralitas juga menjadi perhatian pelaku Ubrug, hal itu dituangkan lewat
pementasan lakonnya. Lakon yang dibawakan menjadi sebuah corong kritik atau
cermin atas perilaku-perilaku masyarakat di sekitar, tema yang diusung pun
bukanlah tema-tema besar, melainkan sesuatu yang sederhana dan dialami hampir
semua orang.
Misalnya
saja lakon berjudul Indung Tere yang kerap dibawakan grup Cantel. Kisah itu
mengangkat perilaku ‘jahat’ seorang ibu terhadap anak tirinya. Sementara sang
suami (ayah anak itu) tidak mengetahui ‘kejahatan’ istrinya. Dengan dalih,
bahwa anak itu bukan anak kandungnya dan anak itu hanya menjadi beban bagi
hidupnya, maka sang istri tidak memiliki alasan untuk memberi kasih sayang
seperti pada anaknya sendiri dengan memperlakukannya secara buruk. Di akhir
cerita, sang istri tersadarkan bahwa bagaimana pun dia dan anak itu sudah
menjadi satu keluarga.
Pesan-pesan
yang ingin disampaikan lewat cerita itu sebagai berikut:
Perlakuan
seperti itu masih kerap terjadi di tengah masyarakat.
Kekerasan
dalam rumah tangga menyebabkan semua anggota keluarga menjadi korban.
Anak
adalah amanat, meskipun posisinya hanya anak tiri
Anak
mempunyai hak yang harus dipenuhi.
Atau
lakon Pondok Jodo Panjang Baraya dari topeng putera Tolay yang mengangkat tema
pentingnya menjalin erat tali silaturahim, meskipun berjauhan dan berbeda
status sosial. Begitulah Ubrug secara sederhana menanggapi realita di
masyarakat. Mengembalikan nilai-nilai hidup rakyat ke tengah rakyat dengan cara
rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar