Sebuah pertanyaan tentang siswa yang dianggap “bermasalah” oleh guru disampaikan kepada penulis lewat media sosial. Pertanyaan tersebut kalau dibahasaindonesiakan dan ditulis ulang kira-kira begini:
Maaf, Pak. Di SD saya ada kasus anak membandel kalau dinasihati, membantah, suka meminta uang kepada temannya, juga suka usil pada teman-temannya. Tapi kalau dia yang diusili dia justru menangis, kemudian bilang ke orang tuanya, orang tuanya ke SD. Saya ingin profesional (?) tetapi takut UU HAM dan orang tua tidak menerimakan. Tadi pagi saja ditanya guru membantah, teman satu bangku diusir. Dia bilang, “Saya tidak punya teman di sini.” Dan parahnya, dia itu perempuan. Bagaimana, Pak?
Menjawab pertanyaan di atas dengan maksud untuk membantu mengatasi masalahnya tidak mudah karena saya tidak tahu duduk perkaranya secara pasti. Namun yang jelas, guru tidak boleh serta merta mengambil sikap negatif apalagi menghakimi si siswa yang dianggap “bermasalah” tadi.
Boleh jadi siswa berperilaku sebagaimana digambarkan tersebut justru sebagai bentuk proses karena “ketidaknyamanan” yang dialami di sekolah. Atau mungkin karena situasi di rumah tangganya yang membuat dia bersikap seperti itu.
Kenali Latar Belakang Siswa
Satu hal yang harus dilakukan guru dalam mengelola kelas sebelum yang lain-lain adalah mengenali latar belakang siswa secara individual.
Ya, guru perlu menyediakan waktu untuk omong-omong dengan setiap siswa tentang keluarganya: ayah, ibu, kakak, adik.
Di mana ayah dan ibu bekerja, kakak dan adik sekolah, berapa lama mereka bisa berkumpul bersama sehari-harinya, apa yang disukai oleh si anak, kegemaran si anak, teman-teman yang disukai, dan lain-lain. Ini akan sangat bermanfaat bagi kelanjutan komunikasi kelak.
Sering terjadi, anak-anak yang tergolong bandel atau dianggap nakal di sekolah karena di rumah kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang orang tua.
Misalnya: ayah sudah tiada, ibu bekerja seharian berangkat pagi pulang petang, sampai di rumah anak sudah tidur, si anak dititipkan ke nenek; atau ayah merantau ke negeri seberang lama pulang, ibu juga bekerja seharian, anak di rumah bersama nenek, dan lain-lain.
Atau, kedua orang tuanya sama-sama di rumah tetapi masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri sehingga waktu untuk bersama-sama anak hampir-hampir tidak ada.
Kalau kenakalan anak itu sebagai akibat dari keadaan keluarga yang kurang kondusif bagi perkembangan jiwa anak maka guru (melalui kepala sekolah) dapat memanggil orang tua utnuk diajak dialog, mencari jalan keluar terbaik bagi perkembangan anak.
Guru juga perlu sesekali membantu orang tua menciptakan kondisi yang kondusif bagi pendidikan anak-anaknya ketika mereka berada di rumah. Komunikasi dan koordinasi dengan orang tua dalam kaitannya dengan kemajuan pendidikan anak harus dilakukan.
Tatapi kalau situasi dan kondisi di rumah baik-baik saja, maka guru perlu melakukan introspeksi, apakah ia sudah melaksanakan tugasnya dengan baik dan benar: bagaimana ia memperlakukan murid-muridnya, baik individual maupun klasikal; bagaimana murid-murid saling menghormati satu sama lainnya; apakah pembelajaran memang benar-benar menarik perhatian siswa; apakah guru bisa menjaga konsistensi dalam ucapan dan tindakan, dan lain-lain.
Cinta dan kasih sayang, keteladanan, humor dan ketegasan yang berpadu, dan konsistensi dalam ucapan dan tindakan yang ditunjukkan oleh guru terhadap murid-muridnya akan mengurangi masalah-masalah terkait pengelolaan kelas.
Selanjutnya, karena masalah-masalah tereliminasi, maka proses pembelajaran akan menjadi mudah dan lancar sehingga tujuan dapat tercapai secara optimal.
Sumber: gurusukses.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar