Kamis, 24 Desember 2015

Belajar Caranya Belajar


Ajarkan kepada Siswa: Belajar Bagaimana Caranya Belajar

Perubahan yang begitu cepat akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), menuntut usaha maksimal manusia untuk senantiasa belajar dan memperbaiki kualitas dirinya agar tidak ketinggalan zaman. Jika orang tidak meng-update dirinya, maka ia akan tertinggal dan menghadapi banyak masalah dalam hidup.
Hal yang sama juga terjadi di dunia pendidikan. Dalam pendidikan, iptek berkembang begitu pesat. Siswa dituntut untuk menguasainya. Tetapi begitu keluar dari bangku sekolah, ilmu yang diperoleh itu sudah tidak lagi relevan dengan kebutuhan.
Konsekuensinya, ia harus belajar lagi sesuatu yang baru, dan proses belajar itu pun harus dilakukan secara cepat. Sebab jika proses belajar dilakukan dengan santai, maka ketika ia sudah menguasai ilmu yang dipelajarinya itu, ilmu itu sudah tidak lagi sesuai dengan kebutuhan hidup.
Proses semacam itu berlanjut sepanjang waktu. Kepada siswa di sekolah selalu diajarkan ilmu atau pengetahuan yang baru. Tetapi ketika siswa berhasil menguasai ilmu atau pengetahuanitu, perkembangan di luar sudah melesat lebih jauh. Akibatnya, sekolah selalu ketinggalan jika dibandingkan dengan perkembangan di luar sekolah. Pertanyaannya: Bagaimana membekali peserta didik agar selalu siap menghadapi perubahan zaman?

Belajar Bagaimana Belajar

Satu hal penting yang perlu dimiliki oleh setiap orang adalah kemampuan untuk mempelajari sesuatu yang baru. Dengan kata lain, orang perlu memiliki keterampilan belajar agar dapat cepat tanggap terhadap perubahan zaman. Dengan keterampilan belajar, orang akan dapat belajar apa saja secara cepat. Dengan demikian, ia akan selalu dapat menyesuaikan diri dan melakukan tindakan antisipatif terhadap perubahan, sehingga ia merasa nyaman dengan perubahan tersebut.
Dalam proses pembelajaran, misalnya, siswa yang telah menguasai keterampilan belajar, akan lebih cepat menyesuaikan diri dengan perkembangan dan tuntutan hidup. Ia akan cepat beradaptasi dengan perubahan, sehingga perubahan itu tidak membuatnya stres. Bahkan, ia akan menikmati perubahan itu seraya meningkatkan kualitas dirinya.
Dengan keterampilan belajar, seorang siswa akan mampu menyelesaikan tugas dan tantangan yang diberikan gurunya secara cepat dan akurat. Dengan keterampilan belajar pula, siswa lebih berhasil daripada yang tidak memilki keterampilan belajar. Sebab itu setiap guru perlu memberikan keterampilan penting ini kepada siswa.
Namun, dari sejumlah guru yang berada di suatu sekolah, berapa persen guru yang mengajarkan keterampilan belajar kepada siswa? Ini perlu penelitian. Tetapi berdasarkan pengamatan, jarang sekali guru yang secara sengaja melatih siswa dengan keterampilan belajar yang diperlukan.
Pada umumnya, guru hanya menyuruh siswa untuk belajar giat. Tetapi guru jarang (kalau tidak boleh dikatakan tidak pernah) mengajarkan kepada siswa bagaimana caranya belajar. Akibatnya, siswa hanya belajar sesuai dengan pemahaman dirinya: membaca tanpa mengerti yang dibaca. Akibat lebih jauh, pembelajaran menjadi tidak bermakna dan tidak berhasil.

Indera Belajar

Pada dasarnya setiap orang belajar melalui indera belajarnya, yaitu visual, auditorial, kinestetik. Dari ketiga jenis indera belajar itu kemudian ditingkatkan pada proses internalisasi pada tataran intelektual. Maka tidak mengherankan jika Dryden menyebut gaya belajar seseorang menjadi empat macam yaitu visual, auditorial, kinestetik, dan intelektual.
Belajar visual artinya belajar melalui indera penglihat (mata). Bentuk belajar ini misalnya membaca, mengamati, observasi, dan lain-lain. Belajar auditorial adalah belajar melalui indera pendengaran (telinga). Belajar jenis ini misalnya dengan mendengarkan atau mengucapkan. Sedangkan belajar kinestetik berarti belajar dengan cara memanipulasi (gerakan). Belajar jenis ini misalnya belajar praktik, melakukan sesuatu, mengoperasikan alat, dan lain-lain.
Ada beberapa jenis indera belajar, dan seseorang pada umumnya tidak hanya menggunakan salah satu indera. Memang ada yang memiliki indera dominan untuk belajar (akan mendapatkan hasil belajar terbaik bila dilakukan dengan indera tertentu), namun semua yang dilakukan dalam proses belajar harus dilanjutkan sampai pada proses internalisasi, yang oleh Dryden disebut menciptakan makna. Proses internalisasi inilah yang akan menentukan apakah seseorang akan berhasil atau gagal dalam belajar.
Sayangnya, proses internalisasi ini masih membutuhkan dasar yang kuat yaitu pemahaman. Tanpa pemahaman, proses internalisasi tidak ada artinya. Lebih jauh, pemahaman ini harus pula dilandasi dengan ingatan yang baik. Anak ingat dahulu, baru kemudian dapat memahami, dan akhirnya dapat menciptakan makna.
Berdasarkan pengamatan penulis, guru jarang menggunakan tahapan-tahapan yang berupa proses belajar tersebut, sehingga wajar jika siswa sulit berhasil. Banyaknya siswa yang mengikuti proses bimbingan belajar di luar sekolah (untuk mendapatkan nilai bagus di sekolah) menunjukkan bahwa proses pembelajaran di sekolah belum dapat memenuhi kebutuhan siswa.
Padahal, menurut Rusda Koto Sutadi, pembelajaran pada hakikatnya adalah usaha sadar guru agar siswa dapat belajar sesuai kebutuhan dan minatnya. Jika demikian, apakah itu tidak berarti bahwa pembelajaran yang dilakukan guru lebih banyak yang gagal daripada yang berhasil?

Membaca Bijaksana

Sesungguhnya, untuk belajar yang benar (belajar sejati) diperlukan kesiapan dari si pebelajar. Kesiapan itu bernama keterampilan dasar. Apabila belajar visual dilakukan melalui membaca, maka kepada siswa harus dilatihkan bagaimana membaca yang benar. Untuk membaca sendiri ada bermacam-macam sesuai tujuan membaca. Misalnya ada membaca indah, membaca teknik, membaca cepat, membaca pemahaman, dan lain-lain. Dan membaca untuk mempelajari sesuatu tentunya juga perlu teknik khusus.
Kecapatan membaca dengan jumlah kata per menit saja belum cukup, karena ini tidak memasuki wilayah pemahaman.. Siswa harus dapat membaca secara bijaksana, yaitu membaca dengan kecepatan ide per menit, bukan kata per menit. Dengan kemampuan membaca cepat banyaknya ide per menit, siswa bukan saja cepat membaca tetapi juga cepat memahami. Persoalannya, apakah guru sempat secara sengaja meningkatkan kecepatan IPM (ide per menit) siswa?
Selain itu, proses belajar juga tidak terlepas dari proses mengingat. Meskipun mengingat ini merupakan tingkatan kognitif paling rendah, sesungguhnya tingkatan ini memegang peranan penting dalam proses belajar. Bagaimana orang bisa memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis, hingga mengevaluasi jika mengingat saja tidak sanggup? Mudah lupa, misalnya! Maka dengan memiliki dasar mengingat yang baik, orang akan dapat meningkatkan kemampuannya secara lebih cepat dan berhasil.

Kemampuan Mengkomunikasikan

Setelah kemampuan mengingat hingga mengevaluasi dimiliki, seseorang harus dapat mengkomunikasikan kepada orang lain. Ini dari kemampuan berbicara. Pada umumnya, siswa di kota lebih mampu berbicara (yang baik dan benar) dalam proses pembelajaran daripada siswa di desa. Mengapa? Pasalnya, guru di kota lebih terbuka pada inovasi, sedangkan guru di desa lebih tertutup.
Keterbukaan guru pada inovasi akan mempengaruhi perilaku mengajarnya. Guru akan mencari tahu bagaimana mengatasi kesulitannya dalam membantu siswa agar dapat belajar secara benar (ingat, membantu siswa agar dapat belajar secara benar, bukan mengajar menghabiskan materi pelajaran!).
Sementara guru di desa justru merasa dirinya sudah nyaman dan sudah benar dengan cara mengajarnya, dari waktu ke waktu hanya begitu-begitu saja, tanpa inovasi, sehingga wajar jika kegagalan lebih banyak dialami oleh siswa di desa daripada siswa di kota (ini kalau proses pengukuran dilakukan secara objektif).
Mengapa guru di kota lebih terbuka pada inovasi? Jawabannya karena fasilitas lebih memadai. Mau ke toko buku mudah, akses ke pengetahuan lebih mudah. Mau ke warnet atau pasang speedy sendiri juga mudah. Semoga menginspirasi!!!
Sumber: gurusukses.com

Level IQ Bisa Berfluktuasi

Level IQ Bisa Berfluktuasi

Peningkatan dan penurunan IQ bisa mencapai 18 hingga 21 poin.
VIVAnews - Selama ini, banyak orang menganggap level IQ (intelligence quotient), bersifat tetap. Namun, faktanya tak demikian. Ternyata, level IQ secara signifikan berfluktuasi di masa remaja. 

Artinya, level IQ seseorang bisa naik dan bisa turun. Hal ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan tim dari Wellcome Trust Centre for Neuroimaging di Inggris. Memang, sampai saat ini level IQ masih jadi patokan.

Jika hasil tes menunjukkan skor yang tinggi, seorang anak dianggap jenius. Sementara, jika skor IQ rendah, seorang anak dianggap tak terlalu pintar. Padahal, menurut penelitian, fakta soal IQ lebih rumit dari hal itu. 

Penelitian ini melibatkan 33 anak yang berusia 12 hingga 16 tahun. Tim melakukan tes IQ pada mereka. Empat tahun kemudian, mereka menjalani tes yang sama dan hasil tes menunjukkan satu dari lima anak mengalami fluktuasi dari satu kategori IQ, seperti kepintaran rata-rata. Beberapa anak, menunjukkan peningkatan IQ sebesar 21 poin dan ada juga yang turun 18 poin. 

"Perubahan sebesar 20 poin merupakan perbedaan besar. Jika level IQ seseorang yang awalnya 110 menjadi 130, maka ia berubah dari kategori rata-rata menjadi superior. Lalu jika poin awal 104 menjadi 84, maka berubah dari kategori normal menjadi rendah," kata Profesor Cathy Price, salah satu peneliti, dikutip dari cbsnews.com.

Hasil pemindaian otak pada anak-anak menunjukkan bahwa perubahan IQ juga bisa dilihat dari perubahan struktural dalam otak. "Perubahan dalam level IQ adalah sesuatu yang nyata," kata Dr. Sue Ramsden, asisten peneliti.

Lalu, apa pemicu naik dan turunnya level IQ? Menurut peneliti, dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengerahuinya. Tetapi hal ini bisa jadi indikasi, bahwa hasil tes IQ pada beberapa orang bisa jadi karena ia terlalu cepat tumbuh atau mungkin terlambat. 

Jadi, orangtua tak perlu terlalu cepat menyerah pada anak yang hasil IQnya rendah. Sangat penting untuk menanamkan pada seorang anak, kalau ia adalah seorang yang pintar, demi perkembangan psikologisnya. 

"Kita (sebagai psikolog) harus berhati-hati dalam menulis 'buruk' terutama pada hasil tes IQ tahap awal. Pada kenyataannya, IQ mereka dapat meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun," kata Price.

Sumber: viva.co.id

Nilai IQ Bisa Berubah di Usia Remaja?

KOMPAS.com — Tinggi rendahnya tingkat kecerdasan intelligence quotient (IQ) seseorang selama ini dianggap tidak akan berubah seumur hidup. Akan tetapi, untuk pertama kalinya para ilmuwan mengatakan bahwa nilai IQ bisa bertambah atau berkurang di usia remaja.
Dalam jurnal Nature, para ilmuwan dari University College London, Inggris, menyebutkan bahwa IQ seseorang, terutama pada remaja, bisa berubah. Dalam penelitian itu para ilmuwan menguji kecerdasan remaja 19 remaja laki-laki dan 14 remaja putri usia 14 tahun, kemudian dites lagi di usia 18 tahun.
Tes yang dilakukan pada remaja itu merupakan kombinasi pemindaian otak dan tes IQ verbal dan non-verbal yang dilakukan pada tahun 2004 dan diulang pada tahun 2008. Hasilnya, ditemukan perubahan IQ dalam tes verbal pada 39 persen remaja dan nilai IQ spasial reasoning(tes kemampuan) pada 21 persen responden.
Para peneliti mengklaim, tes ini memiliki tingkat validitas yang besar karena untuk pertama kalinya diketahui variasi dalam nilai IQ yang berkorelasi dengan dua area otak yang berbeda.
Peningkatan nilai IQ dalam bidang verbal berhubungan dengan perkembangan kepadatan bagian otak sebelah kiri, yakni area yang aktif ketika seseorang berbicara. Sementara itu, peningkatan nilai IQ non-verbal berkaitan dengan peningkatan kepadatan di anterior cerebellum, yakni area yang berhubungan dengan gerakan tangan.
Dalam laporan penelitiannya, Profesor Cathy Price, ketua peneliti, menjelaskan bahwa hasil riset ini bisa menjadi bukti bahwa potensi kecerdasan seseorang bisa ditingkatkan.
"Selama ini kecerdasan anak-anak cenderung diukur di usia dini, tetapi hasil riset ini menunjukkan bahwa kecerdasan anak masih bisa berkembang. Para pendidik harus berhati-hati agar tidak menyebut seseorang kecerdasannya rendah di usia dini karena faktanya, IQ masih bisa meningkat beberapa tahun kemudian," katanya.
Meski penelitian ini tidak menjelaskan sebab akibat dari peningkatan IQ pada remaja tersebut, para peneliti menjelaskan bahwa kematangan para remaja tersebut mungkin terjadi pada usia yang berbeda

Lima Kesalahan Yang Harus Dihindari Guru Ketika Mengajar


Tulisan ini saya buat karena terinspirasi oleh teman-teman pengunjung situs ini yang mencari artikel tentang kesalahan guru dalam mengajar. Saya memang belum pernah menulis artikel tentang hal ini, karena itu kali ini saya berikan gambaran mengapa guru sering gagal mencapai tujuan pembelajaran secara optimal.
Kegagalan guru dalam mengajar sering terjadi sebagai akibat kesalahan mendasar yang tidak disadari telah dilakukan oleh guru. Tentu saja ini adalah pendapat pribadi penulis berdasarkan pengalaman mengajar dan pengamatan terhadap rekan-rekan sejawat yang menyampaikan keluhan tentang kegagalan murid-muridnya.
Kami berharap melalui tulisan ini para guru terinspirasi untuk tidak melakukan kesalahan yang sama seperti yang akan dijelaskan di bawah, sekaligus mampu melakukan koreksi diri secara reflektif sehingga pada gilirannya sanggup memberikan yang terbaik buat peserta didik yang diampunya. Ini menjadiautocritic buat kita semua.
Sebetulnya setiap guru memiliki potensi untuk berhasil menjalankan tugasnya sebagai agen pembelajaran yang handal. Keberhasilan guru ini secara nyata dapat dilihat dari keberhasilan murid-murid ketika mengikuti proses dan mencapai tujuan pembelajaran. Tanpa keberhasilan murid, maka apa pun yang dilakukan guru tidak ada nilainya.
Berikut adalah lima kesalahan guru ketika mengajar yang bisa mengakibatkan kegagalan siswa mencapai tujuan pembelajaran secara optimal.
Kesalahan #1. Berpikir Egosentris. Ini kesalahan paling mendasar yang benar-benar kurang disadari oleh guru. Kesalahan ini juga akan berdampak pada timbulnya kesalahan-kesalahan lain. Pernahkah Anda mendengar keluhan seperti ini, “Saya sudah bersungguh-sungguh mengajar kelas ini tetapi hasilnya sangat mengecewakan!” Atau keluhan yang ini, “Anak ini lho, sudah dijelaskan berkali-kali tetap saja tidak mengerti!” Dua contoh keluhan tersebut menunjukkan bahwa guru yang bersangkutan berpikir egosentris, hanya menurut dirinya sendiri. Ya, menurut guru itu, dia sudah mengajar dengan sungguh-sungguh atau sudah menjelaskan berkali-kali. Dia tidak berpikir tentang masalah yang dihadapi oleh siswa ketika mengikuti pembelajaran sehingga tidak berhasil. Jangan-jangan karena guru tidak bisa berkomunikasi secara runtut dengan bahasa yang mudah dipahami? Atau, mungkin gaya belajar siswa visual dan kinestetik tetapi tidak dipenuhi oleh guru, sehingga gaya mengajar guru tidak acceptable bagi siswa?
Kesalahan #2. Tidak Peka Terhadap Perubahan Suasana Kelas. Dalam proses pembelajaran, wajib hukumnya seorang guru mengendalikan kelas. Sepenuhnya! Hal ini penting agar proses pembelajaran berjalan lancar. Kita tahu bahwa kelas terdiri atas berbagai karakter. Oleh karena itu harus diupayakan agar karakter yang beragam itu dapat diorkestrasikan menuju terwujudnya simponi pembelajaran yang enak dinikmati (coba cek lagi pembelajaran kuantum). Diorkestrasikan menuju simponi pembelajaran yang enak dinikmati, artinya bahwa seluruh potensi kelas (siswa) harus diberdayakan untuk saling membantu sehingga terwujud keberhasilan bagi setiap individu. Dengan demikian rata-rata prestasi kelas menjadi tinggi. Contoh ketidakpekaan guru ketika mengajar misalnya membiarkan badut kelas mengalihkan perhatian siswa yang sedang asyik mengikuti penjelasan guru sehingga konsentrasi kelas menjadi terpecah. Atau membiarkan siswa yang tidak tertib mengganggu konsentrasi siswa lain yang sedang belajar. Hal ini tampaknya persoalan kecil, tetapi kalau tidak segera dibenahi bisa berakibat kegagalan seluruh kelas. Ini terkait dengan manajemen kelas.
Kesalahan #3. Komunikasi Tidak Efektif. Contoh komunikasi tidak efektif (guru ingin mengingatkan agar siswa mengerjakan PR yang diberikan), “Anak-anak, awas jangan lupa lho dengan PR kamu. Kamu kerjakan semuanya. Kalau kamu tidak mengerjakan PR kamu, maka besok tidak akan mendapatkan nilai dari bu guru.” Kenapa tidak dikatakan saja seperti ini, “Anak-anak, ingat, kerjakan PR-mu. Semuanya! Besok Ibu nilai.” Bukankah bahasa yang kedua lebih irit, dan karenanya lebih efektif. Jadi, ketika kita bermaksud meminta sesuatu, katakan saja secara tepat apa yang kita maksudkan. Kalau anak disuruh diam, ya katakan, “Anak-anak, diam!” Kalau anak-anak disuruh memperhatikan penjelasan guru, ya katakan saja, “Anak-anak, lihat ini!” dan semacamnya.
Kesalahan #4. Mengajar Tanpa Persiapan. Berbicara mengenai persiapan mengajar, saya teringat seorang teman yang berkata begini, “Ingin berhasil dalam mengajar, buat persiapan secara matang!” Persiapan mengajar itu ibarat skenario dalam film. Tidak akan ada film yang baik dan enak ditonton tanpa skenario yang baik. Begitu pula, tidak akan ada pembelajaran yang berhasil tanpa persiapan yang benar. Kebanyakan guru (kabarnya) enggan membuat persiapan secara benar. Akibatnya, pembelajaran di kelas berlangsung seolah tanpa arah. Padahal, guru itu seorang profesional. Salah satu ciri keprofesionalan seorang guru adalah menyusun perencanaan pembelajaran secara benar. Saya percaya Anda akan memperbaiki kesalahan Anda dalam mengajar (kalau kemarin-kemarin tidak membuat persiapan yang benar), sehingga hasil pembelajaran siswa benar-benar menggembirakan semua komponen (yang terkait dengan pembelajaran Anda).
Kesalahan #5. Tidak Melakukan Evaluasi Menyeluruh. Evaluasi pembelajaran harus dilakukan secara menyeluruh. Kalau Anda pernah membuat skripsi tentang penelitian kuantitatif, Anda pasti ingat bahwa instrumen yang Anda gunakan harus diuji validitas dan reliabilitasnya. Instrumen evaluasi pembelajaran pun sebetulnya harus diuji validitas dan reliabilitasnya. Instrumen evaluasi harus valid dan reliable. Tetapi untuk bahasan ini, kita tidak akan sedetail ketika menyusun skripsi. Arti menyeluruh di sini adalah bahwa penyusunan soal evaluasi pembelajaran minimal harus mencakup bentuk-bentuk seperti: pilihan ganda, isian, jawaban singkat. Tidak hanya pilihan ganda saja, atau isian saja. Materinya meliputi seluruh materi yang diajarkan (minimal satu kompetensi dasar).
Sekali lagi, pendapat di atas hanya berdasarkan pengalaman pribadi penulis. Tentu saja masih banyak kesalahan guru yang lain, yang bisa berakibat pada kegagalan siswa dalam belajar. Anda pun dapat menginventarisasi kesalahan-kesalahan yang Anda lakukan ketika mengajar atau kesalahan teman-teman sejawat.
Kata kuncinya: Apabila terdapat kegagalan siswa dalam pembelajaran, maka di situlah guru perlu melakukan introspeksi: sudah benarkah yang dia lakukan? Kemudian dilanjutkan: apa yang bisa dia lakukan untuk memperbaiki keadaan? Jadi, guru harus selalu belajar.
Ya, belajar dari buku, belajar dari teman, belajar dari murid, dan belajar dari dirinya sendiri. Semoga bermanfaat.
Sumber: gurusukses.com

Perlunya Integrasi IQ-EQ-SQ dalam Pembelajaran



Proses pembelajaran bukan sekadar bertujuan agar siswa menguasai materi pelajaran. Penyelenggaraan proses pembelajaran di sekolah harus mengarah pada tercapainya tujuan pendidikan nasional, seperti diamanatkan UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) atau bahkan tujuan universal.
Seperti tertuang dalam pasal 3 UU Sisdiknas, pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sementara secara filosofis universal, tujuan pendidikan adalah perkembangan pribadi agar manusia dapat mencapai kehidupan yang lebih baik (Hamm, 1989:45-50). Dengan kata lain, pendidikan universal bertujuan untuk membekali peserta didik agar mendapatkan kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Oleh karena itu proses pembelajaran harus mengarah pada pembekalan bagi peserta didik.
Berdasarkan analisis bahwa pendidikan adalah sebagai pembekalan, maka proses pembelajaran di sekolah seyogianya juga membekali peserta didik dengan kecakapan yang memadai. Ini agar peserta didik dapat hidup lebih baik dan memiliki pribadi yang berwatak dan bermartabat, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, kuat dan tangguh, serta mampu mengaktualisasikan dirinya secara utuh. Sebab itu, pembelajaran seharusnya tidak sekadar menangani kecerdasan intelektual saja melainkan juga kecerdasan emosional dan spiritual.
Kecerdasan intelektual (IQ) memang penting. Orang dengan IQ tinggi memang diharapkan dapat menggunakan akalnya untuk menentukan pilihan-pilihan secara tepat (rasional), sehingga yang bersangkutan mendapatkan kehidupan yang baik. Namun kenyataannya tidak selalu demikian. Banyak orang yang sukses di sekolah tetapi tidak sukses dalam kehidupan. Sebaliknya, banyak orang yang prestasi di sekolahnya biasa-biasa saja justru berhasil dalam kehidupan nyata.
Menurut Goleman (2003:44-47), IQ hanya menyumbang kira-kira 20 persen bagi penentu sukses dalam hidup, sedangkan yang 80 persen diisi kekuatan-kekuatan lain. Kekuatan lain itu adalah kecerdasan emosional: kemampuan untuk memotivasi diri dan bertahan menghadapi frustrasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak melebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa. Ia menyatakan bahwa kecerdasan emosional (EQ) sama ampuhnya, dan kadang lebih ampuh dari IQ.
Pada tataran yang lebih jauh, IQ dan EQ ternyata juga belum cukup karena hanya menyangkut hubungan kebendaan dan hubungan antarmanusia, sehingga orang masih mengalami kegersangan jiwa, tidak mendapatkan kedamaian abadi.
Akibatnya, jika terjadi benturan dalam hidup, orang tidak lagi mampu mempertahankan EQ dan IQ. Tindakan bodoh pun dilakukan, misalnya: menyerang orang atau menyakiti diri sendiri. Padahal, keberhasilan manusia sering tergantung pada kekuatan yang lebih besar, yang berada di luar kekuatan manusia itu.
Untuk itu, orang perlu memiliki kecerdasan spiritual (SQ). Kecerdasan ini akan membimbing seseorang pada kesadaran bahwa setiap diri memiliki keterbatasan tertentu. Nasib baik atau buruk pasti terjadi jika Tuhan menghendaki. Sebab itu tugas utama manusia adalah melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya dan ikhlas terhadap hasil akhir. Baginya, keberhasilan adalah anugerah dan kegagalan adalah hikmah. Masing-masing ada manfaatnya.
Kecerdasan spiritual memberi seseorang semangat yang tetap berkobar di dalam dirinya, karena ada kekuatan yang mengatur perjalanan hidupnya, sehingga orang tersebut selalu siap dan tidak was-was dalam menjalani proses hidupnya.
Menurut Danah Zohar (dalam Ary Ginanjar Agustian, 2001:57), SQ adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value; yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna daripada yang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ. SQ adalah kecerdasan tertinggi kita.
Menurut Agustian, SQ adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya, memiliki pola pemikiran tauhidi (integralistik) dan berprinsip “hanya karena Allah”.
Berdasarkan analisis terhadap ketiga kecerdasan di atas tampak jelas bahwa masing-masing mendukung terwujudnya tujuan pendidikan nasional. Oleh karena itu guru perlu mengembangkannya secara bersama-sama dalam proses pembelajaran.
Bacaan yang relevan:
Ary Ginanjar Agustian. 2001. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ: Emotional Spiritual Quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta: Penerbit Arga.

Goleman, Daniel. 2003. Kecerdasan Emosional. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Hamm, Cornel M. 1989. Philosophical Issues in Education. Great Britain: Taylor & Francis Ltd.
Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Tiga Hal Bisa Mempercepat Proses Belajar Siswa


Alkisah, seorang psikiater berkebangsaan Bulgaria bernama Georgi Lozanov, melakukan eksperimen menyembuhkan pasiennya dengan musik barok dan pemberian sugesti positif mengenai kesembuhan.

Apa yang dilakukan oleh ahli psikiatri tersebut membawa hasil yang gemilang. Si pasien mengalami kemajuan besar dan sembuh.
Keberhasilan menyembuhkan pasien dengan musik dan sugesti tersebut membawanya langkah yang lebih jauh. Lozanov mengira bahwa metode ini juga dapat diterapkan pada pendidikan.
Dengan disponsori pemerintah Bulgaria, dia melakukan penelitian mengenai pengaruh musik dan sugesti positif pada pembelajaran, dengan menggunakan bahasa asing sebagai subjek.
Dia mendapati bahwa kombinasi musik, sugesti, dan permainan kanak-kanak memungkinkan pelajar untuk belajar jauh lebih cepat dan jauh lebih efektif.
Keberhasilan Georgi Lozanov dalam penyembuhan dan (khususnya pembelajaran) tersebut akhirnya menyulut imajinasi guru bahasa dan pendidik di mana-mana untuk melaksanakan proses pembelajaran secara lebih baik.
Pelajaran yang bisa dipetik dari cerita di atas adalah bahwa ketenangan (rasa tenang dan nyaman), keyakinan, dan gairah dapat meningkatkan efektivitas pembelajaran. Inilah yang saya sebutkan dalam judul sebagai tiga hal yang mempercepat proses belajar siswa. Ketiga hal tersebut adalah: kenyamanan, keyakinan, dan gairah. Bagaimana penjelasannya?
Musik barok adalah musik klasik, yang jika diputar, bisa menenangkan suasana hati si pendengarnya. Sugesti positif bisa membangun rasa percaya diri dan menguatkan keyakinan seseorang bahwa dirinya mampu untuk berhasil.
Sedangkan permainan kanak-kanak, jelas ini adalah untuk memberikan kegembiraan dan semangat bagi para pelakunya. Semangat ini akan melipatgandakan usaha.
Dengan rasa nyaman didukung dengan keyakinan yang kuat akan keberhasilan serta usaha yang sungguh-sungguh, maka seorang siswa akan bisa melakukan tugas belajarnya dengan efektif dan efisien.
Artinya, siswa yang belajar dalam kondisi nyaman dan yakin bahwa dirinya bisa berhasil, ditambah dengan usaha maksimal, maka hasilnya pun akan maksimal.
Sumber: gurusukses.com

Mengajarkan Disiplin Tanpa Teriakan – Mungkinkah?


“Hidup tiada mungkin tanpa perjuangan tanpa pengorbanan mulia adanya

Berpeganglah tangan satu dalam cita demi masa depan Indonesia Jaya.”

Rangkaian kata-kata di atas merupakan bagian dari lirik lagu berjudul “Indonesia Jaya”, yang biasa saya gunakan untuk memotivasi siswa belajar dan bekerja lebih giat demi mewujudkan masa depan yang lebih baik.
Ya, anak-anak sekarang memang banyak yang lebih memilih JALAN PINTAS ketimbang mencapai sesuatu melalui proses yang benar (dengan konsekuensi lebih ruwet, lebih berat, lebih menderita!). Tidak percaya? Cobalah amati anak-anak kita ketika dihadapkan pada suatu persoalan. Mereka lebih cepat menjawab dengan kata-kata “TIDAK BISA”, “TIDAK SANGGUP”, “BERAT”, atau semacamnya.
Jawaban-jawaban dengan nada seperti disebutkan di atas itu menunjukkan bahwa mereka “enggan” mengikuti proses yang benar. Ini berbahaya jika dibiarkan menjadi kebiasaan, yang pada gilirannya akan mewarnai atau bahkan membentuk watak mereka.
Kepada mereka perlu diajarkan bahwa hidup itu bukan sekadar apa yang diinginkan harus terwujud. Mereka perlu tahu bahwa untuk mencapai sesuatu harus ada upaya yang dilakukan. BUKAN GRATIS! Intinya, harus ada pertukaran antara apa yang diinginkan dengan apa yang dilakukan untuk mencapai keinginan itu.
Misalnya, untuk mendapatkan nilai baik di sekolah pertukaran yang harus dilakukan adalah belajar giat dan tekun — bukan nyontek pekerjaan teman! Begitu pula untuk capaian-capaian lainnya. Jadi, untuk mendapatkan keberhasilan seseorang harus melakukan sesuatu secara benar sehingga tidak merugikan pihak lain secara tidak wajar.
Apa hubungannya dengan pengajaran disiplin? Di mata sebagian masyarakat, disiplin itu identik dengan sesuatu yang “berat”, “monoton”, “membosankan” dan semacamnya sehingga orang cenderung tidak mematuhinya. Mereka lebih memilih yang asyik-asyik saja, bukan yang sulit.
Padahal, dari disiplin itulah manusia akan menjadi pribadi yang bisa mencapai keberhasilan secara benar — integritas, karakter — dan, terhormat. Sebab itu, disiplin harus diajarkan dan dilatihkan sehingga menjadi pengalaman yang mempribadi kepada siswa.
Tentu saja, karena pengajaran disiplin ini berada dalam ranah pendidikan, maka pelaksanaannya pun harus mengacu pada nilai-nilai pendidikan. Artinya, dalam pengajaran disiplin itu sebisa mungkin dihindari pemberian sanksi berupa “hukuman” (fisik maupun psikis) bagi siswa yang melanggarar. Lebih penting adalah bagaimana para guru menjadikan nilai-nilai kedisiplinan itu sebagai milik siswa, sehingga mereka merasa butuh untuk melaksanakannya.
Apabila cara yang dilakukan guru dalam mengajarkan disiplin bisa dilakukan seperti yang disebutkan terakhir di atas, maka pengajaran disiplin tanpa teriakan adalah mungkin! Bisa dilakukan! Kuncinya ada pada guru.
Ketulusan, rasa syukur menjadi orang yang berkesempatan mewarnai kehidupan anak-anak, harapan yang tinggi untuk keberhasilan siswa di masa depan adalah ramuan yang menguatkan niat para guru untuk berbuat terbaik demi siswa.
Ya, demi siswa. Bukan demi ego guru. Sebab itu guru tidak perlu melakukan “kekerasan” kepada siswa dengan memberikan hukuman bagi pelanggaran disiplin di sekolah. Sanksi boleh, tetapi hukuman jangan!
Sumber: gurusukses.com

Pentingnya Mengenali Latar Belakang Siswa


Sebuah pertanyaan tentang siswa yang dianggap “bermasalah” oleh guru disampaikan kepada penulis lewat media sosial. Pertanyaan tersebut kalau dibahasaindonesiakan dan ditulis ulang kira-kira begini:
Maaf, Pak. Di SD saya ada kasus anak membandel kalau dinasihati, membantah, suka meminta uang kepada temannya, juga suka usil pada teman-temannya. Tapi kalau dia yang diusili dia justru menangis, kemudian bilang ke orang tuanya, orang tuanya ke SD. Saya ingin profesional (?) tetapi takut UU HAM dan orang tua tidak menerimakan. Tadi pagi saja ditanya guru membantah, teman satu bangku diusir. Dia bilang, “Saya tidak punya teman di sini.” Dan parahnya, dia itu perempuan. Bagaimana, Pak?
Menjawab pertanyaan di atas dengan maksud untuk membantu mengatasi masalahnya tidak mudah karena saya tidak tahu duduk perkaranya secara pasti. Namun yang jelas, guru tidak boleh serta merta mengambil sikap negatif apalagi menghakimi si siswa yang dianggap “bermasalah” tadi.
Boleh jadi siswa berperilaku sebagaimana digambarkan tersebut justru sebagai bentuk proses karena “ketidaknyamanan” yang dialami di sekolah. Atau mungkin karena situasi di rumah tangganya yang membuat dia bersikap seperti itu.

Kenali Latar Belakang Siswa

Satu hal yang harus dilakukan guru dalam mengelola kelas sebelum yang lain-lain adalah mengenali latar belakang siswa secara individual.
Ya, guru perlu menyediakan waktu untuk omong-omong dengan setiap siswa tentang keluarganya: ayah, ibu, kakak, adik.
Di mana ayah dan ibu bekerja, kakak dan adik sekolah, berapa lama mereka bisa berkumpul bersama sehari-harinya, apa yang disukai oleh si anak, kegemaran si anak, teman-teman yang disukai, dan lain-lain. Ini akan sangat bermanfaat bagi kelanjutan komunikasi kelak.
Sering terjadi, anak-anak yang tergolong bandel atau dianggap nakal di sekolah karena di rumah kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang orang tua.
Misalnya: ayah sudah tiada, ibu bekerja seharian berangkat pagi pulang petang, sampai di rumah anak sudah tidur, si anak dititipkan ke nenek; atau ayah merantau ke negeri seberang lama pulang, ibu juga bekerja seharian, anak di rumah bersama nenek, dan lain-lain.
Atau, kedua orang tuanya sama-sama di rumah tetapi masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri sehingga waktu untuk bersama-sama anak hampir-hampir tidak ada.
Kalau kenakalan anak itu sebagai akibat dari keadaan keluarga yang kurang kondusif bagi perkembangan jiwa anak maka guru (melalui kepala sekolah) dapat memanggil orang tua utnuk diajak dialog, mencari jalan keluar terbaik bagi perkembangan anak.
Guru juga perlu sesekali membantu orang tua menciptakan kondisi yang kondusif bagi pendidikan anak-anaknya ketika mereka berada di rumah. Komunikasi dan koordinasi dengan orang tua dalam kaitannya dengan kemajuan pendidikan anak harus dilakukan.
Tatapi kalau situasi dan kondisi di rumah baik-baik saja, maka guru perlu melakukan introspeksi, apakah ia sudah melaksanakan tugasnya dengan baik dan benar: bagaimana ia memperlakukan murid-muridnya, baik individual maupun klasikal; bagaimana murid-murid saling menghormati satu sama lainnya; apakah pembelajaran memang benar-benar menarik perhatian siswa; apakah guru bisa menjaga konsistensi dalam ucapan dan tindakan, dan lain-lain.
Cinta dan kasih sayang, keteladanan, humor dan ketegasan yang berpadu, dan konsistensi dalam ucapan dan tindakan yang ditunjukkan oleh guru terhadap murid-muridnya akan mengurangi masalah-masalah terkait pengelolaan kelas.
Selanjutnya, karena masalah-masalah tereliminasi, maka proses pembelajaran akan menjadi mudah dan lancar sehingga tujuan dapat tercapai secara optimal.
Sumber: gurusukses.com

Bersikap Inklusif dalam Mengajar

Sebagai guru, Anda mungkin menghadapi masalah dengan sebagian siswa yang mengalami kesulitan belajar di kelas. Anda ingin semua siswa berhasil dalam pembelajaran, tetapi siswa-siswa yang “bermasalah” tidak menunjukkan hasil belajar yang menggembirakan Anda.

Anda panik, khawatir karena Anda tidak bisa mengatasi masalah di kelas. Anda frustrasi karena tidak tahu lagi harus berbuat apa! Apa solusinya? Silakan lanjutkan membaca!

Siswa Mengalami Kesulitan Belajar

Hampir di setiap kelas pasti ada siswa yang mengalami kesulitan belajar. Dibandingkan dengan siswa kebanyakan, siswa-siswa ini termasuk lamban dalam berpikir atau menanggapi rangsangan dari lingkungan.
Misalnya, ketika siswa-siswa ini diberi pertanyaan sederhana, mereka membutuhkan waktu yang lebih lama untuk memahami maksud pertanyaan sekaligus memberikan tanggapan secara tepat terhadap pertanyaan yang diajukan, dibandingkan kebanyakan temannya di kelas.
Namun ketika kepada siswa-siswa ini diberi waktu lebih lama untuk berpikir, atau kalimat pertanyaannya diubah, atau cara bertanya yang diganti, mereka ternyata dapat memberikan tanggapan atas pertanyaan dimaksud secara tepat.
Dalam hal belajar, siswa demikian tentunya memerlukan waktu yang jauh lebih lama untuk berhasil. Jika memahami dan menanggapi pertanyaan sederhana saja memerlukan lebih banyak waktu, siswa yang lamban berpikir ini tentunya membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk memahami materi pelajaran.
Siswa demikian sering disebut sebagai mengalami kesulitan belajar. Dengan demikian jika guru mengajar hanya dengan satu macam metode, misalnya metode ceramah, apalagi dengan gaya bicara yang cepat, siswa-siswa ini akan benar-benar mengalami kesulitan dalam belajar, dan mereka lebih mudah untuk gagal belajar.
Padahal, mereka tentunya tidak ingin gagal. Setiap siswa pasti ingin berhasil dalam pembelajaran, termasuk mereka yang lamban berpikir tadi.Guru juga sama, ingin semua siswa di kelasnya berhasil. Tanpa kecuali!
Untuk itu guru perlu memahami kebutuhan siswa untuk berhasil dalam belajar. Di antaranya adalah memberi peluang yang lebih banyak kepada siswa “bermasalah” untuk menyelesaikan tugas, atau mengganti tugas dengan tugas lain yang setara agar dapat diselesaikan.

Guru Bersikap Inklusif dalam Mengajar

Sikap inklusif artinya sikap menyatu dengan siswa. bahwa siswa memiliki perbedaan, baik dari segi kognisi, latar belakang, maupun yang lain. Guru yang bersikap inklusif dalam mengajar menciptakan suasana belajar yang membuat siswa di dalam kelas merasa bernilai dan memiliki kemampuan untuk melakukan tugas dengan baik.
Guru menghargai perbedan, sehingga berusaha untuk menyesuaikan cara mengajarnya dengan cara siswa belajar. Dengan dasar bahwa setiap siswa adalah unik, berbeda, maka guru dalam mengajar tidak hanya menggunakan satu cara untuk semua. Guru menggunakan cara yang beragam, agar semua siswa terpenuhi kebutuhannya.
Guru yang bersikap inklusif ini tidak menarget siswa untuk tingkat kualitas yang sama dalam waktu yang sama pula. Mungkin untuk siswa yang “bermasalah” diberi waktu lebih longgar, atau diberi tugas yang berbeda namun dapat menunjukkan kualitas yang sama dengan siswa normal. Metode beragam, media beragam, cara penilaiannya pun beragam. Dengan demikian siswa dengan latar belakang yang beragam tadi dapat mencapai target yang ditentukan.

Memudahkan Membantu Siswa Yang Mengalami Kesulitan Belajar

Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh guru ketika bersikap inklusif dalam mengajar di antaranya adalah sebagai berikut:
  • Menghilangkan perasaan “terasing” bagi siswa yang mengalami kesulitan belajar;
  • Guru dapat menyesuaikan cara mengajarnya dengan cara siswa belajar;
  • Iklim kelas terasa nyaman bagi semua, tidak akan terjadi “bullying” di kelas;
  • Harga diri setiap siswa akan terpelihara dan semakin meningkat.
Keuntungan-keuntungan tersebut di atas sangat bermanfaat bagi keberhasilan kelas. Siswa yang mengalami masalah belajar merasa “bernilai” dan merasa “memiliki kemampuan untuk berhasil” sehingga mereka lebih bersungguh-sungguh dalam belajar.
Pada sisi lain, ketika siswa yang dianggap “bermasalah” saja bisa berhasil, hal ini tentunya akan menambah semangat bagi siswa lain yang dianggap “tidak bermasalah” untuk lebih berhasil. Jadi, semuanya mendapatkan keuntungan, dan semuanya akan mendapatkan keberhasilan.

Tips Menghadapi Siswa Yang Beragam


Prestasi (hasil) belajar siswa di kelas sangat ditentukan oleh cara guru memperlakukan siswa di dalam pembelajaran. Ketika guru berhasil membuat seluruh kelas fokus dengan gairah yang tinggi pada pembelajaran, maka proses pembelajaran akan berlangsung lancar dan mencapai hasil yang optimal. Kapan Anda sebagai guru terakhir kali mengalami situasi pembelajaran seperti disebutkan di atas?

Sering terjadi, dalam sebuah proses pembelajaran di kelas, lebih-lebih kelas rendah, hanya sebagian kecil siswa yang sanggup bertahan untuk fokus dalam waktu yang cukup lama (tiga puluh menit, misalnya). Sebagian besar siswa tidak bisa fokus dalam pembelajaran. Ada-ada saja yang lebih menarik perhatian mereka daripada memperhatikan guru yang sedang menjelaskan materi pembelajaran. Bahkan, mengganggu teman sebelah ternyata lebih menarik perhatian mereka. Buktinya? Mereka menganggu teman di saat pembelajaran! Apakah Anda juga pernah mengalami kejadian serupa?

Memahami Keunikan Pribadi Siswa

Kita percaya pada informasi yang mengatakan bahwa masing-masing siswa di kelas kita memiliki pribadi yang unik. Kita juga menerima pendapat bahwa untuk dapat mengajar siswa dengan baik, syarat utama dan pertama adalah mengenal karakteristik siswa. Tetapi tidak jarang, ketika tiba saatnya kita ACTION mengajar di kelas, informasi dan pendapat tentang keunikan siswa yang sudah kita terima sebagai sesuatu yang benar, hilang terbang entah ke mana. Kita mengajar sesuai dengan versi kita, menggunakan cara yang menurut kita efektif, mudah, dan menarik–bukan menurut siswa. Padahal, kita sadar sesadar-sadarnya bahwa dalam proses pembelajaran itu, siswalah yang harus belajar. BUKAN GURU YANG MENGAJAR! Dan siswa belajar dengan keunikannya sendiri!
Jadi, kita perlu memahami keunikan pribadi siswa–dan menyesuaikan cara kita mengajar dengan keunikan masing-masing siswa tersebut. Prinsipnya: Guru yang harus menyesuaikan teknik pembelajaran menurut kebutuhan (keunikan, karakteristik) siswa agar pembelajaran berhasil, bukan siswa yang menyesuaikan.

Buat Pembelajaran Seperti Fragmen

Ketika kita sudah menyadari dan memahami bahwa siswa itu beragam, serta memiliki komitmen bahwa siswa harus berhasil, maka kita akan selalu berusaha untuk memberi kebebasan kepada siswa untuk belajar dengan cara mereka sendiri. Targetnya adalah siswa berhasil mencapai hasil belajar yang ditentukan.
Agar siswa berhasil melaksanakan tugas atau berhasil mencapai tujuan yang diharapkan, maka guru harus membuat siswa kuat–membuat siswa mampu. Caranya? Latih mereka dengan keterampilan-keterampilan khusus yang dibutuhkan, misalnya: cara membaca (membaca cepat, membaca indah, membaca untuk pemahaman), cara mencatat (membuat peta pikiran, menemukan inti paragraf untuk disalin), cara menghafal (mnemonik, jembatan keledai), cara cepat menyelesaikan persoalan-persoalan matematika, dan cara-cara praktis lainnya yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas dengan cepat dan tepat.
Jadikan pembelajaran berupa fragmen-fragmen kecil. Misalnya, contoh di SD, dalam pembelajaran tatap muka dengan waktu 70 menit (dua jam pembelajaran), kegiatannya harus dibuat bervariasi, minimal lima macam kegiatan dengan perkiraan waktu rata-rata setiap kegiatan 10 dan 15 menit. Ada ceramah (pengantar, penjelasan sin gkat, simpulan), kegiatan membaca sendiri bagi siswa, menceritakan dengan kalimat sendiri oleh siswa, membuat catatan poin-poin penting, menjelaskan catatan, mengajar teman sebaya, membuat lagu, mengamati objek tertentu dan menyampaikan laporan pengamatan, dan penilaian.
Dalam kegiatan yang bervariasi tersebut, guru harus memastikan bahwa semua siswa terpenuhi kebutuhannya. Misalnya siswa yang visual harus mendapatkan kesempatan yang baik untuk menggunakan penglihatnnya dalam belajar (bacaan, gambar, grafik, dan lain-lain). Siswa auditorial harus mendapatkan kesempatan untuk berbicara atau mendengar dalam belajar (mendengarkan cerita, menceritakan kembali, mendengarkan penjelasan atau menjelaskan kepada teman sebaya, diskusi dan laporan lisan, dan lain-lain). Yang kinestetik juga harus mendapatkan kesempatan untuk melakukan tindakan (memanipulasi, belajar ambil menggerakkan anggota tubuhnya, membaca sambil bersuara atau berjalan-jalan, membuat isyarat-isyarat gerakan tertentu untuk menghafal poin-poin penting, dan lain-lain). Dengan cara ini, maka seluruh siswa akan dapat menyelesaikan tugas dan mencapai hasil sesuai kemampuan. Jika dengan cara tersebut ternyata masih ada siswa yang tidak akif, guru perlu mencari tahu penyebabnya. Bisa bertanya kepada siswa yang bersangkutan mengapa tidak aktif, bertanya kepada teman-teman di kelas, mengamati secara khusus. Hilangkan penyebab ketidakaktifan siswa (gangguan yang berasal dari keadaan di luar pembelajaran), maka mereka selanjutnya akan aktif.
Simpulan
Siswa beragam harus dilayani secara beragam dalam pembelajaran, dengan memenuhi kebutuhan (cara belajar) siswa. Salah satu caranya adalah membuat pembelajaran dalam bentuk fragmen-fragmen kecil dengan kegiatan yang memenuhi tipe-tipe siswa belajar.
Sumber: gurusukses.com

Mengatasi Siswa Cuek Ketika Diterangkan


siswa cuek?
Apakah siswa Anda cuek ketika diterangkan? Apakah Anda ingin tahu caranya mengatasi hal tersebut? Jika jawaban Anda adalah “Ya”, maka lanjutkan membaca tulisan berikut.
Memiliki siswa yang cuek ketika diterangkan memang tidak enak. Guru sering dibuat jengkel oleh situasi tersebut. Hal ini bisa dimaklumi, karena di satu sisi guru ingin agar seluruh siswa berhasil dalam pembelajaran di kelas.
Tetapi jika dalam proses pembelajaran terdapat satu atau beberapa siswa yang cuek dan tidak peduli pada pelajaran, guru jadi terganggu. Sebab itu harusdiupayakan agar siswa yang cuek tadi berubah menjadi memperhatikan penjelasan guru dalam pembelajaran. Bagaimana caranya? Berikut adalah dua cara yang bisa dilakukan.

1. Berhenti Sejenak dari Kegiatan Menjelaskan Pelajaran

Langkah awal yang dapat dilakukan adalah Anda berhenti menjelaskan pelajaran kepada kelas. Tunggu hingga siswa yang cuek tadi menunjukkan perhatian kepada Anda. Sering terjadi, ketika sedang mengajar, guru kurang memperhatikan bagaimana keseluruhan siswa di kelas, apakah mereka semua benar-benar memperhatikan guru yang sedang mengajar.
Berhenti dari aktivitas menerangkan pelajaran akan membuat kelas bertanya-tanya dan mencari tahu apa sebabnya. Anda bisa memandang siswa yang cuek tadi untuk memberikan isyarat bahwa Anda sedang menungggu mereka untuk melanjutkan menjelaskan pelajaran.
Ketika Anda berhenti menjelaskan pelajaran tetapi siswa yang cuek tetap tidak memperhatikan Anda, maka Anda bisa memanggil nama siswa yang cuek tersebut. Ketika siswa tersebut memandang kepada Anda, barulah Anda beritahukan bahwa Anda menunggu dia.
Perlu juga disampaikan kepada siswa bahwa perhatian mereka kepada pelajaran sangat penting, agar mereka berhasil dalam pembelajaran dan bisa mencapai tujuan belajar secara optimal. Tanpa memperhatikan penjelasan guru secara benar, maka mustahil mereka berhasil.

2. Siapkan Kamera dan Ambil Gambar Siswa yang Cuek

Cara kedua ini agak aneh, tetapi benar-benar efektif. Apabila langkah pertama dengan berhenti menjelaskan pelajaran di atas tidak berpengaruh, dalam arti siswa tetap cuek, maka langkah kedua ini bisa dijalankan.
Anda tidak perlu marah-marah kepada siswa yang cuek, karena di samping hal ini akan membuat Anda lepas kendali yang mengarah pada “menyakiti” hati siswa, cara ini juga tidak efektif. Hanya menghamburkan waktu, dan siswa juga tidak berubah.
Lebih baik ambil kamera dan “bidik” siswa yang cuek tadi. Dijamin, siswa lain akan memberitahukan kepada siswa yang cuek bahwa dia akan difoto oleh gurunya.
Biasanya siswa akan merasa senang dan “bergaya” ketika tahu bahwa dirinya akan difoto. Tetapi dalam hal ini, karena siswa difoto gara-gara tidak memperhatikan pelajaran, dia akan merasa malu, dan dia akan memperhatikan pelajaran.
Tujuan dari pengambilan gambar siswa yang cuek ini adalah untuk bahan diskusi kelas di waktu yang lain, yakni waktu santai ketika guru tidak sedang menerangkan pelajaran. Diskusi-diskusi kelas dalam waktu santai ini diperlukan untuk membangun budaya kelas yang tertib dan kondusif terhadap kelancaran proses pembelajaran.
Dalam diskusi tersebut dibahas hal-hal yang mendukung maupun hal-hal yang menghambar kelancaran proses pembelajaran, termasuk contoh-contoh perilaku siswa di kelas ketika mengikuti proses pembelajaran. Perilaku yang mendukung diberi penguatan, dan perilaku yang menghambat harus dikurangi dan jika perlu dihilangkan.
Catatan: Berdasarkan pengalaman, ketika guru mengambil kamera dan membidik ke arah siswa yang cuek saat diterangkan, siswa yang lain memberitahu siswa yang cuek kalau akan difoto, dan siswa tersebut langsung duduk tegak dan memperhatikan guru. Guru tidak jadi memfoto siswa tersebut.
Sumber: gurusukses.com