CERPEN : MENANGKAP HANTU
Oleh Ipal
Azan
maghrib berkumandang dari arah kampung. Langit senja berwarna merah dan kuning.
Daerah rawa di dekat kampung itu sudah gelap dan sunyi. Itu karene pohon pohon
rumbia tumbuh cukup lebat di situ.
“Kin,Nu,
sudah gelap, ayo pulang.” Badi mengiatkan kedua temannya.
“Ah,
sebentar lagi tanggung,” balas Kikin sambil memegang jaringnya.
Sementara
Rinu agak ke tengah rawa sibuk menyerok ikan dengan jarring. Badi mendapat
tugas memegang keranjang hasil tangkapan. Ikan-ikan di dalam keranjang rotan melompat-lompat.
Hari itu tangkapan mereka banyak sekali.
Angina
senja bertiup pelan. Baun-daun rumbia berbunyi saling bergesekan.
Terdengar suara serangga hutan rumbia.
Badi mulai gelisah. Keringat dingin membasahi keningnya. Padahal, udara sekitar
sudah mulai dingin. Dia teringat cerita Nenek Bibah bahwa di hutan rumbia ini
banyak “penunggunya”. Badi jadi menyesal mengikuti ajakan Kikin dan Rinu pulang
sekolah tadi. Menangkap ikan di rawa hutan rumbia ini. Badi inhgat, waktu ia
menolak ajakan itu, Kikin berkata, “Ah, itu kan hanya cerite Nenek Bibah. Nenek
Bibah memang suka bercerita yang seram-seram.”
Tiba-tiba,
ada benda dingin menempel di kaki Badi. Ia gelagapan. Terdengar suara tawa
Kikin dan Rinu. Ternyata mereka melemparkan lumut ke kaki Badi.
“Haha,
lagi melamun hantu, ya?” ledek Rinu.
Badi tersenyum kecut.
“Yuk,
pulang. Ternyata disini banyak sekali ikannya.
Besok-besok kita kesini lagi,” ajak Kikin sambil mengemasi perlengkapan
mereka. Badi tidak bersuara. Dia ingin cepat-cepat pulang. Dia tidak suka
mendengar bunyi geaekan daun-daun rumbia itu. Seperti bunyi orang bertepuk
tangan. Sebelum pulang, Kikin mengajak mereka ke pancuran dulu untuk
membersihkan kaki dari Lumpur.
“Kita
langsung pulang saja,” kata Badi pucat. Dia teringat cerita Nenek Bibah, kalau
di pancuran itu pernah ada orang berjubah putih.
“Kenapa?”
Tanya Kikin. “Kita kan kotor sekali, belepotan lumpur.”
“
Nenek Bibah bilang ada orang berjubah putih di pancuran ini,” ujar Badi
setengah berbisik.
“Mudah-mudahan
sekarang tidak ada,” balas Rinu tersenyum mengejek. Kemudian dia mencuci muka, tangan,
kaki serta jarring dari kotoran lumpur.
“Brrr,
airnya dingin sekali!” seru Kikin yang mencuci kakinya. Namun Badi tidak
melakukan apa-apa. Matanya bergerak kian kemari mengawasi sekeliling pancuran
yang di tumbuhi rumpun bambu, pohon-pohon liar dan semak-semak.
Ketika
mereka hendak meninggalkan pancuran, Badi nyaris menjerit. Ia melihat sosok
putih diatas sebuah batu besar. Entah sejak kapan dia ada disitu.
“Kin,
Nu, kalian melihat sosok putih itu?” Tanya Badi dengan suara bergetar.
“Ya,
aku melihatnya,” balas Kikin parau.
“Aku
juga,” jawab Rinu pelan. Mereka berjalan setengah berlari meninggalkan pancuran
itu.
***
Esoknya,
di senja hari, Badi bersiap pergi ke surau untuk mengaji. Di perjalanan, dia
bertemu Kikin dan Rinu. Sepertinya, mereka juga akan berangkat ke surau. Namun,
ada gulungan jala di tangan Kikin.
“Ayo,
ikut kami ke pancuran,” ajak Rinu. Bdi mendadak merinding teringat sosok putih
kemarin.
“Kita
akan menangkap hantu pancuran kemarin itu,” jelas Rinu tenang. Dia menunjuk
jala di tangan Kikin.
“Tapi
kita akan terlambat mengaji lagi. Ustadz Hamid akan menegur kita lagi,” tolak
Badi halus. Kemarin, gara-gara telat datang, mereka kena marah.
“Tidak
apa-apa. Yang penting kita harus membuktikan bahwa hantu tidak ada,” jelas Rinu
meyakinkan Badi.
“Ayo,
jangan jadi penakut,” kata Kikin. Akhirnya, badi mau juga bergabung dengan
Kikin dan Rinu.
Sesampainya
di pancuran, hari sudah hampir gelap. Dari tempat mereka bersembunyi di balik
semak-semak, tampak jelas sosok putih diatas batu. Badi mulai menggigil
ketakutan. Udara dingin mebuat ia tambah gemetar.
“Kita
dekati dia,” bisik Kikin. Rinu siap dengan jala ditangannya. Badi hanya terdiam
dengan bibir bergetar. Sosok putih itu tampak mulai bergerak naik.
“Seraaaaang…”
Rinu dan Kikin menyergap sosok putih itu dengan jala. Terjadi keributan kecil
ketika sosok itu berteriak-teriak kaget.
“Hei,
lepaskan aku! Apa-apaan ini ! kalian berdosa mengganggu nenek-nenek.!” Ujar
sosok itu mencak- mencak. Badi merasa kenal suara itu. Nenek Bibah dengan
sarung kotak-kotak putihnya.
“Awas,
aku adukan kalian pada Ustadz Hamid.”
“Maaf,
Nek, kami kira Nenek Hantu berjubah putih di pancuran ini. Kami ingin
membuktikannya,” jawab Badi.
“Hantu
berjubah putih?! Tidak ada hantu disini. Setiap sore aku memang mandi disini.
Tapi, karena udara dingin, aku menutup tubuhku dengan sarung putih ini,” jawab
Nenek Bibah mulai tenang.
“Lantas,
bagaimana dengan cerita hantu pancuran itu?” Tanya Kikin.
“Itu
hanya ceritaku. Supaya kalian pergi mengaji di surau dan tidak keluyuran ke
mana-mana!”
“Maafkan
kami, Nek. Kami tidak bermaksud mengganggu nenek,” ucap Badi tulus.
“Iya,
sudah, sudah! Aku mau cuci kaki lagi! Kalian menginjak kakiku!”
Dalam
perjalanan ke surau, ketiga anak itu tertawa terpingkal-pingkal. Mereka senang
berhasil memecahkan rahasia cerita hantu pancuran itu. Namun, yang paling
penting, mereka berhasil mengatasi rasa ketakutan mereka sendiri. Mereka juga
berjanji tidak akan keluyuran lagi di sore hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar